Jumat, 02 Mei 2014

Babak baru menggapai mimpi

"Impian haruslah menyala dengan apapun yang kita miliki, meskipun yang kita miliki tidak sempurna, meskipun itu retak-retak" ― Iwan Setyawan, 9 Summers 10 Autumns

Ya, impian harus tetap menyala-nyala!

"Dituntun oleh impianku dan didorong oleh keyakinan. Aku pergi. Semangat dan antusias terus menemaniku melewati babak baru menggapai impian itu."

Jumat, 02 Mei 2014
06.55 Wib



Sistem Demokrasi Indonesia



Sejarah Demokrasi di Indonesia
Sejak Indonesia merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara pada tanggal 17 Agustus 1945, para Pendiri Negara Indonesia (the Founding Fathers) melalui UUD 1945 (yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945) telah menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham atau ajaran demokrasi, dimana kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada ditangan Rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian berarti juga NKRI tergolong sebagai negara yang menganut paham Demokrasi Perwakilan (Representative Democracy).
Penetapan paham demokrasi sebagai tataan pengaturan hubungan antara rakyat disatu pihak dengan negara dilain pihak oleh Para Pendiri Negara Indonesia yang duduk di BPUPKI tersebut, kiranya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa sebagian terbesarnya pernah mengecap pendidikan Barat, baik mengikutinya secara langsung di negara-negara Eropa Barat (khususnya Belanda), maupun mengikutinya melalui pendidikan lanjutan atas dan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia sejak beberapa dasawarsa sebelumnya, sehingga telah cukup akrab dengan ajaran demokrasi yang berkembang di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Tambahan lagi suasana pada saat itu (Agustus 1945) negara-negara penganut ajaran demokrasi telah keluar sebagai pemenang Perang Dunia-II.
Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari Pelaksanaan Demokrasi yang pernah ada di Indonesia. Pelaksanaan demokrasi di indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periodesasi antara lain :
1. Pelaksanaan demokrasi pada masa revolusi ( 1945 – 1950 ).
Tahun 1945 – 1950, Indonesia masih berjuang menghadapi Belanda yang ingin kembali ke Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan dengan baik. Hal itu disebabkan oleh masih adanya revolusi fisik. Pada awal kemerdekaan masih terdapat sentralisasi kekuasaan hal itu terlihat Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbnyi sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden denan dibantu oleh KNIP. Untuk menghindari kesan bahwa negara Indonesia adalah negara yang absolut pemerintah mengeluarkan :
  • Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berubah menjadi lembaga legislatif.
  • Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang Pembentukan Partai Politik.
  • Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang perubahan sistem pemerintahn presidensil menjadi parlementer.

Pelaksanaan demokrasi pada masa Orde Lama
a. Masa Demokrasi Liberal (1950 – 1959)
Masa demokrasi liberal yang parlementer presiden sebagai lambang atau berkedudukan sebagai Kepala Negara bukan sebagai kepala eksekutif. Masa demokrasi ini peranan parlemen, akuntabilitas politik sangat tinggi dan berkembangnya partai-partai politik.
Namun demikian praktek demokrasi pada masa ini dinilai gagal disebabkan :
  • Dominannya partai politik
  • Landasan sosial ekonomi yang masih lemah
  • Tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950
Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
  • Bubarkan konstituante
  • Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950
  • Pembentukan MPRS dan DPAS
b. Masa Demokrasi Terpimpin (1959 – 1966)
Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan nasakom dengan ciri:
  1. Dominasi Presiden
  2. Terbatasnya peran partai politik
  3. Berkembangnya pengaruh PKI
Penyimpangan masa demokrasi terpimpin antara lain:
  1. Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak yang dipenjarakan
  2. Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan oleh presiden dan presiden membentuk DPRGR
  3. Jaminan HAM lemah
  4. Terjadi sentralisasi kekuasaan
  5. Terbatasnya peranan pers
  6. Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok Timur)
Akhirnya terjadi peristiwa pemberontakan G 30 September 1965 oleh PKI yang menjadi tanda akhir dari pemerintahan Orde Lama.

3. Pelaksanaan demokrasi Orde Baru (1966 – 1998)
Dinamakan juga demokrasi pancasila. Pelaksanaan demokrasi orde baru ditandai dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, Orde Baru bertekad akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Awal Orde baru memberi harapan baru pada rakyat pembangunan disegala bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini dianggap gagal sebab:
  1. Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada
  2. Rekrutmen politik yang tertutup
  3. Pemilu yang jauh dari semangat demokratis
  4. Pengakuan HAM yang terbatas
  5. Tumbuhnya KKN yang merajalela
Sebab jatuhnya Orde Baru:
  1. Hancurnya ekonomi nasional ( krisis ekonomi )
  2. Terjadinya krisis politik
  3. TNI juga tidak bersedia menjadi alat kekuasaan orba
  4. Gelombang demonstrasi yang menghebat menuntut Presiden Soeharto untuk turun jadi Presiden.
4. Pelaksanaan Demokrasi Reformasi {1998 – Sekarang).
Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.
Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain:
  1. Keluarnya Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi
  2. Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tap MPR tentang Referandum
  3. Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN
  4. Tap MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI
  5. Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV
Pada Masa Reformasi berhasil menyelenggarakan pemiluhan umum sudah dua kali yaitu tahun 1999 dan tahun 2004.
Pemilihan Umum Sebagai Pelaksanaan Demokrasi
Salah satu cirri Negara demokratis debawa rule of law adalah terselenggaranya kegiatan pemilihan umum yang bebas. Pemilihan umum merupakan sarana politik untuk mewujudkan kehendak rakyat dalam hal memilih wakil-wakil mereka di lembaga legislatif serta memilih pemegang kekuasaan eksekutif baik itu presiden/wakil presiden maupun kepala daerah.
Pemilihan umumbagi suatu Negara demokrasi berkedudukan sebagai sarana untuk menyalurkan hak asasi politik rakyat.

Dapat dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi. Pemilu 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun.

Penghambat Demokrasi
-Banalitas Politik
Korupsi seperti itu jelas merupakan banalitas yang menusuk hatinurani rakyat. Para pemimpin semacam itu pantas digelari para banal.

Seperti diketahui, istilah banalitas politik, sebenarnya terkait dengan banalitas kejahatan (banality of evil), buah pemikiran Hannah Arendt, meksipun filsuf Jerman berdarah Yahudi itu menolak pengaitan banalitas politik dengan banalitas kejahatan. Segenap sudut di negeri ini tidak pernah kekurangan politikus banal.
Banalitas itu tampak dalam setiap tampilan yang tampaknya saja dikemas demi kepentingan umum, tapi ternyata ujung-ujungnya adalah duit untuk kantong pribadi.
Banalitas itu bisa menjelma dalam program yang tampaknya mengangkat sungguh martabat orang miskin, tapi ternyata setelah ditelusuri motifnya justru demi terdongkraknya citra diri dan pundi-pundi sang politikus. Simak saja korupsi bansos yang melibatkan Wali Kota Bandung Dada Rosada.
Tidak heran menurut Vedi R Hadiz, ilmuwan sosial Indonesia sekaligus Professor of Asian Societies and Politics untuk Asia Research Centre, Murdoch University Australia menyebut para politikus seperti itu sebagai predator (2003).
-Pencitraan Politik
Secara normatif, kita tahu bahwa setiap caleg harus memiliki sejumlah syarat kelayakan etis, seperti jujur dan adil, tidak melakukan KKN, mengikuti hati nurani pribadi, berkelakuan baik dan bertanggung jawab, serta mengutamakan kemajuan dan kepentingan bangsa. Namun secara aplikatif, sejak tahun 2004 sampai sekarang, baik melalui temuan ICW (Indonesia Corruption Watch) dan sejumlah survey yang kredibel, maupun kenyataan obyektif di lapangan, ternyata masih kita temukan sebagian caleg yang tidak memenuhi kriteria kelayakan normatif etis di atas.

Ironisnya lagi, untuk menutupi berbagai kelemahan tersebut, sebagian caleg malah melakukan politik pencitraan secara berlebihan dan money politic. Salah satu konsekuensi sosialnya, pada tataran grass root banyak konstituen yang apatis dan menjadi golput (Golongan Putih). Bahkan dalam sejumlah penelitian di beberapa wilayah, ditemukan sejumlah konstituen apatis yang memilih golput cukup signifikan.
Dengan bercermin pada fakta yang memilukan tersebut, maka paling tidak ada beberapa sikap yang perlu kita ambil. Pertama, ketika sebagian caleg melakukan politik pencitraan yang berlebihan dan money politic, maka kita harus memahami bahwa semua itu sebagai pertanda bahwa mereka tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup dan tidak memiliki kompetensi.
Para psikolog menyingkap selubung halus ini bahwa orang yang telah mempunyai kepercayaan diri utuh terhadap kemampuannya sendiri, maka ia tidak akan melakukan manipulasi terhadap orang lain. Hanya orang-orang yang tidak mempunyai kepercayaan diri dan menyadari kelemahan dirinya-lah yang akan melakukan manipulasi-manipulasi, yang salah satunya adalah melalui money politic. Money politic itu sekaligus merupakan upaya untuk menutupi bahwa dirinya tidak mempunyai kompetensi dalam bidang yang ingin diembannya.
-Narsisme Politik
Narsisme politik, yang memiliki kecenderungan pemujaan diri secara berlebihan, tidak akan membawa tatanan politik yang luhur. Politik narsis hanya akan menciptakan kader partai berlagak dekat dengan petani, pembela wong cilik, akrab dengan pedagang pasar, karib dengan pemuka agama, penjaga kesatuan bangsa, pemberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan perilaku “seolah-olah” lainnya. Namun, semua itu hanya ilusi, palsu, dan bohong belaka.

Di panggung politik, para kader partai mengkonstruksi citra partai  dengan sebaik, secerdas, seintelek, sesempurna, dan seideal mungkin, tanpa menghiraukan pandangan umum terhadap realitas diri partai sebenarnya. Melalui politik pertandaan (politics of signification), berbagai tanda palsu (pseudo sign) tentang tokoh, figur, dan partai diciptakan untuk mengelabui persepsi dan kesadaran publik. Maka tidak heran, di satu sisi kita menyaksikan partai politik yang getol menyuarakan gerakan antikorupsi, misalnya “Katakan Tidak pada Korupsi. Namun, di sisi lain, kita juga melihat sebagian kadernya terlilit korupsi.


-Intimidasi Suara
Tekanan terhadap pemilih atau sekelompok pemilih . Intimidasi dilakukan dalam beragam bentuk:
  • Kekerasan: pemilih atau sekelompok pemilih ditekan oleh partisan atau tim sukses suatu partai/kandidat untuk memilih calon/partai tertentu dengan ancaman kekerasan fisik jika tidak menaati kehendak pelaku intimidasi.
  • Serangan di tempat pemungutan: bisa berupa spanduk gelap, kampanye hitam melalui orang-orang tertentu yang disusupkan ke TPS, atau melalui serangan bom.
  • Legal threats: pemilih diancam hukuman penjara atau sanksi kehilangan jabatan/pekerjaan jika tidak memilih calon/partai tertentu. Praktek ini umumnya melibatkan pemegang otoritas hukum dan politik di suatu daerah pemilihan. Sebagai contoh, tahun 2004 di Wisconsin, AS ada spanduk yang bunyinya: “If you already voted in any election this year, you can’t vote in the Presidential Election. If anybody in your family has ever been found guilty of anything you can’t vote in the Presidential Election. If you violate any of these laws, you can get 10 years in prison and your children will be taken away from you.”
  • Economic threats: intimidasi kategori ini sering dipraktekkan oleh tuan tanah dalamn masyarakat agraris atau pemilik perusahaan dalam masyarakat industrial. Tuan tanah dan pemilik modal adalah mesin politik. Mereka bekerja untuk suatu partai atau kandidat dengan melakukan intimidasi terhadap pekerja.
-Politik Transaksional
politik transaksional berarti politik dagang. Ada yang yang menjual, maka ada yang membeli. Tentu semuanya membutuhkan alat pembayaran yang ditentukan bersama. Kalau dalam jual-beli, maka alat pembayarannya biasanya berupa uang tunai.
Lantas apakah dalam praktek politik, jika terjadi politik transaksional, berarti ada jual beli politik? Ada yang memberi uang dan ada yang menerima uang dalam transaksi politik tersebut. Tentu semuanya masih dalam dugaan saja. Apakah memang politik transaksional ini selalu berhubungan dengan uang? Sebenarnya tidak juga. Dalam beberapa kasus politik, politik transaksional juga berkaitan dengan jabatan dan imbalan tertentu di luar uang.
Dalam praktek politik praktis, hampir pasti ada politik transaksional. Karena pada dasarnya politik adalah kompromi, sharing kekuasaan. Harus dipahami juga, bahwa dalam politik kenegaraan juga ada istilah pembagian kekuasaan. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga diseluruh dunia. Karena memang politik adalah proses pembagian kekuasaan. Di mana seseorang atau sekelompok orang yang meraih kekuasaan, akan berbagi kekuasaan dengan ornag lain.
Biasanya, pembagian kekuasaan tersebut berkaitan dengan koalisi politik yang sebelumnya dibangun. Tanpa ada koalisi, kemungkinan adanya politik transaksional itu sangat kecil. Biasanya, sebelum koalisi dibangun, maka transaksi-transaksi politik itu harus sudah disepakati. Jika dalam pelaksanaannya ada pengkhiatan, maka kesepakatan atau transaksi politik itu bisa dievaluasi atau tidak dilakukan sama sekali.
Politik transaksional, tidak melulu berkaitan dengan transaksi keuangan saja. Seperti dalam istilah transaksi itu sendiri, yang cenderung bernilai ekonomis, masalah uang.
Lantas, apakah politik transaksional itu tidak diperbolehkan? Apakah politik transaksional itu sama dengan money politics? Sangat relatif dalam melihat kedua hubungan itu. Karena keduanya memang sangat tipis perbedaannya. Sama halnya ketika berbicara antara politik uang dengan uang politik. Hanya memutar frase kata saja, sudah berbeda artinya. Keduanya juga memiliki makna yang hampir sama, namun berbeda.
Bahwa dalam transaksi politik menimbulkan biaya politik, maka sudah sewajarnya dalam transaksi itu muncul uang pengganti. Dalam arti, untuk menjalankan rencana kerja dari transaksi politik itu, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Maka uang yang digunakan itu merupakan bagian dari politik transaksi. Hal itu tidak bisa dihindari. Namun jika uang itu hanya digunakan untuk segelintir orang, hanya sekedar untuk mencapai syarat pencalonan saja. Seperti dalam Pilkada-Pilkada terdahulu, sangat kental dengan istilah politik transaksional, yang hanya sekedar alat untuk kepentingannya sendiri.
-KampanyeNegatif
Kampanye negatif adalah kampanye yang berisikan pesan-pesan negatif terhadap lawan (kompetitor) yang berdasarkan fakta yang jujur dan relevan.
Berdasarkan survei yang dirilis LSI menunjukkan, sebanyak 65,2% publik menyatakan kampanye negatif penting bagi mereka sebagai pembelajaran politik untuk mengetahui kekurangan dari kandidat atau partai politik.
"Sedangkan sebanyak 20,5% publik menyatakan tidak setuju atau tidak penting kampanye negatif tersebut. Dan sebanyak 12,5% menyatakan sikap netral,

Daftar Pustaka

My Little World Copyright © 2009
Scrapbook Mania theme designed by Simply WP and Free Bingo
Converted by Blogger Template Template