Jumat, 24 Juni 2016

Juru Puisi



Toro, anak kampung dari belitung yang sangat sederhana. Ayahnya seorang buruh pabrik tahu dan Ibunya seorang tukang cuci. Meski hidup dalam keadaan yang serba sulit dia tidak pernah kehabisan akal, selalu ada saja yang dilakukan untuk menghasilkan uang. Menjadi kuli panggul di pasar beras, merawat kambing milik tetangga sampai menggantikan Ibunya menjadi tukang cuci saat sakit.  Semua dia lakukan untuk membatu membayar uang sekolahnya. 

Di sekolah Toro memang tidak rengking satu. Tapi kemampuannya dalam membuat puisi tidak ada yang meragukan. Nilai matematikanya selalu saja merah tapi tidak dengan nilai bahasa Indonesia, sempurna.  Saat hari kemerdekaan, acara perpisahakn sekolah atau sekedar tugas kelas, puisi Toro selalu memukau setiap telinga yang mendengar. 

Cinta adalah mahkota puisi
Musim adalah giwang puisi
Hujan adalah kalung puisi
Bulan adalah puisi
Cincin adalah perhiasan 

Itu adalah puisi yang dibacakan Toro saat di kelas. 

Lewat puisilah dia mengekspresikan perasaannya. Kemampuannya dalam membuat puisi menjadi semakin cemerlang semenjak kedatangan siswi baru di kelas. Marlina, siswi pindahan asal Medan yang telah mencuri hati Toro. Matanya indah memancar bak bulan di langit malam yang penuh bintang. Senyumnya bukan main manisnya, lesung pipi dikedua pipinya lah penyebabnya. Marlina, berasal dari keluarga yang cukup mapan di kampung, ayahnya seorang PNS dan Ibunya seorang guru SD. Dia memang selalu menjadi pusat perhatian dimanapun, pasalnya tidak ada yang menandingi kecantikan Marlina. 

Mata Toto tak berkedip saat menatap wajah Marlina. Namun, Marlina acuh, tak bergeming. Toro selalu memperhatikan gerak-gerik Marlina, selalu. Apapun yang dia kerjakan, apa hobinya, dimana rumahnya, makanan kesukaannya, warna favorit, semua hal tentang Marlina Toro tau. Dia mencari tau lewat tetangga, sahabat, teman-teman, penjaga sekolah dan semua orang yang dekat dengan Marlina. Setiap malam, terbayang-bayang wajah Marlina. Karna Marlina, hari-hari Toro menjadi lebih bersemangat. Di kelas saat yang lain masih di rumah, Toro sudah sampai. Dia rajin bukan kepalang, menyapu kelas. Selalu ada puisi yang dia buat setiap hari untuk Marlina, diletakannya puisi itu di meja Marlina. 

Datangkan seribu serdadu untuk membekukku!
Bidikkan seribu senapa, tepat ke ulu hatiku!
Langit menjadi saksiku bahwa aku di sini, untuk mencintaimu!
Dan biarkan aku mati dalam keharuman cintamu...

Hari berganti, bulan berlalu dan masa SMP akan berakhir dan mamasuki babak baru dalam pendidikan, SMA. Tiga tahun  Toro menyukai Marlina, tapi sejak awal Marlina tetap sama, memandang dengan cara yang sama dan bersikap yang sama, tidak peduli.
Toro mencari tau dimana Marlina akan bersekeolah, akhirnya Toro dan Marlina satu sekolah kembali di SMA. Berkali-kali Toro melihat Marlina bersama laki-laki lain, dibonceng dengan motor vespa saat pulang sekolah. Sejak SMP sampai SMA Toro sikap Toro selalu sama, memperhatikan Marlina. Setiap malam memikirkan Marlina dan berkhayal bisa hidup bahagia dengan wanita itu sepanjang usia.  Toro masih membuat puisi untuk Marlina setiap hari, meski kini tidak selalu disampaikannya karena dia tau bahwa Marlina membecinya sejak SMP. Dari dulu Marlina selalu minta untuk tidak mengirimkan puisi-puisi lagi untuknya. Namun Toro tetap sama.

Waktu dikejar
Waktu menunggu
Waktu berlari
Waktu bersembunyi
Biarkan aku mencintaimu
Dan biarkan waktu menguji
***

Marlina pindah sekolah Tor! Begitu kata Ikin ke Toro dengan tergesa-gesa. Dia kaan pindah ke Balik Papan. Toro kaget sekaligus sedih. Saat itu mereka duduk dibangku kelas 2 SMA. Kurang lebih sudah lima tahun Toro menyukai Malena, tapi kali ini dia harus merelakan Marlina pergi bersama rasa bencinya kepadanya. Tidak ada lagi wanita bermata indah dan berlesung pipi dalam hari-harinya. Dia kehilangan semangat. Toro sering melamun, menjauh dari teman-temannya. Sepulang sekolah Toro hanya melamun. Malam hari kembali melamun sambil memandang langit, melihat bulan dan mengingat kembali wajah Marlina.
Wahai warna-warni yang berkelebat
Tak sudikah singgah sebentar?
Hinggap di hatiku yang biru
Mengharu biru karena rindu


Di rumah, Toro mempunyai kucing peliaharaan yang dia beri nama broni. Malam-malamnya dia lalui dengan broni, dianggapnya sahabat Toro menceritakan tentang Marlina ke broni. Kucing itu dirawat sejak baru lahir, ditemukan di jalan saat hampir tertabrak modil penggangut sayur dari pasar. Seakan mengerti dengan apa yang dialami majikannya, broni terenyuh. Sepulang sekolah, Toro tidak melihat broni. Dicarinya broni kesmua tepat tapi tidak ada. Rupanya, broni mati terlindas truck sampah dekat rumah. Kesendihan Toro semakin parah. Belum lama dia ditinggalkan Marlena, sekarang broni pergi. Tidak ada lagi yang menemani malam-malam sepinya.  

                                                                      ***



*Puisi dikutip dari Buku Ayah oleh Andrea Hirata.


My Little World Copyright © 2009
Scrapbook Mania theme designed by Simply WP and Free Bingo
Converted by Blogger Template Template