Toro, anak kampung dari belitung yang sangat
sederhana. Ayahnya seorang buruh pabrik tahu dan Ibunya seorang tukang cuci. Meski
hidup dalam keadaan yang serba sulit dia tidak pernah kehabisan akal, selalu
ada saja yang dilakukan untuk menghasilkan uang. Menjadi kuli panggul di pasar
beras, merawat kambing milik tetangga sampai menggantikan Ibunya menjadi tukang
cuci saat sakit. Semua dia lakukan untuk
membatu membayar uang sekolahnya.
Di sekolah Toro memang tidak rengking satu.
Tapi kemampuannya dalam membuat puisi tidak ada yang meragukan. Nilai
matematikanya selalu saja merah tapi tidak dengan nilai bahasa Indonesia,
sempurna. Saat hari kemerdekaan, acara
perpisahakn sekolah atau sekedar tugas kelas, puisi Toro selalu memukau setiap
telinga yang mendengar.
Cinta adalah mahkota puisi
Musim adalah giwang puisi
Hujan adalah kalung puisi
Bulan adalah puisi
Cincin adalah perhiasan
Musim adalah giwang puisi
Hujan adalah kalung puisi
Bulan adalah puisi
Cincin adalah perhiasan
Itu adalah puisi yang dibacakan Toro
saat di kelas.
Lewat puisilah dia mengekspresikan
perasaannya. Kemampuannya dalam membuat puisi menjadi semakin cemerlang
semenjak kedatangan siswi baru di kelas. Marlina, siswi pindahan asal Medan
yang telah mencuri hati Toro. Matanya indah memancar bak bulan di langit malam
yang penuh bintang. Senyumnya bukan main manisnya, lesung pipi dikedua pipinya lah
penyebabnya. Marlina, berasal dari keluarga yang cukup mapan di kampung,
ayahnya seorang PNS dan Ibunya seorang guru SD. Dia memang selalu menjadi pusat
perhatian dimanapun, pasalnya tidak ada yang menandingi kecantikan Marlina.
Mata Toto tak berkedip saat menatap wajah
Marlina. Namun, Marlina acuh, tak bergeming. Toro selalu memperhatikan
gerak-gerik Marlina, selalu. Apapun yang dia kerjakan, apa hobinya, dimana rumahnya,
makanan kesukaannya, warna favorit, semua hal tentang Marlina Toro tau. Dia
mencari tau lewat tetangga, sahabat, teman-teman, penjaga sekolah dan semua
orang yang dekat dengan Marlina. Setiap malam, terbayang-bayang wajah Marlina. Karna
Marlina, hari-hari Toro menjadi lebih bersemangat. Di kelas saat yang lain
masih di rumah, Toro sudah sampai. Dia rajin bukan kepalang, menyapu kelas. Selalu
ada puisi yang dia buat setiap hari untuk Marlina, diletakannya puisi itu di
meja Marlina.
Datangkan seribu serdadu untuk membekukku!
Bidikkan seribu senapa, tepat ke ulu hatiku!
Langit menjadi saksiku bahwa aku di sini, untuk mencintaimu!
Dan biarkan aku mati dalam keharuman cintamu...
Bidikkan seribu senapa, tepat ke ulu hatiku!
Langit menjadi saksiku bahwa aku di sini, untuk mencintaimu!
Dan biarkan aku mati dalam keharuman cintamu...
Hari
berganti, bulan berlalu dan masa SMP akan berakhir dan mamasuki babak baru
dalam pendidikan, SMA. Tiga tahun Toro
menyukai Marlina, tapi sejak awal Marlina tetap sama, memandang dengan cara
yang sama dan bersikap yang sama, tidak peduli.
Toro
mencari tau dimana Marlina akan bersekeolah, akhirnya Toro dan Marlina satu
sekolah kembali di SMA. Berkali-kali Toro melihat Marlina bersama laki-laki
lain, dibonceng dengan motor vespa saat pulang sekolah. Sejak SMP sampai SMA
Toro sikap Toro selalu sama, memperhatikan Marlina. Setiap malam memikirkan Marlina
dan berkhayal bisa hidup bahagia dengan wanita itu sepanjang usia. Toro masih membuat puisi untuk Marlina setiap
hari, meski kini tidak selalu disampaikannya karena dia tau bahwa Marlina
membecinya sejak SMP. Dari dulu Marlina selalu minta untuk tidak mengirimkan
puisi-puisi lagi untuknya. Namun Toro tetap sama.
Waktu dikejar
Waktu menunggu
Waktu berlari
Waktu bersembunyi
Biarkan aku mencintaimu
Dan biarkan waktu menguji
Waktu menunggu
Waktu berlari
Waktu bersembunyi
Biarkan aku mencintaimu
Dan biarkan waktu menguji
***
Marlina
pindah sekolah Tor! Begitu kata Ikin ke Toro dengan tergesa-gesa. Dia kaan
pindah ke Balik Papan. Toro kaget sekaligus sedih. Saat itu mereka duduk
dibangku kelas 2 SMA. Kurang lebih sudah lima tahun Toro menyukai Malena, tapi
kali ini dia harus merelakan Marlina pergi bersama rasa bencinya kepadanya. Tidak
ada lagi wanita bermata indah dan berlesung pipi dalam hari-harinya. Dia
kehilangan semangat. Toro sering melamun, menjauh dari teman-temannya. Sepulang
sekolah Toro hanya melamun. Malam hari kembali melamun sambil memandang langit,
melihat bulan dan mengingat kembali wajah Marlina.
Wahai warna-warni yang berkelebat
Tak sudikah singgah sebentar?
Hinggap di hatiku yang biru
Mengharu biru karena rindu
Tak sudikah singgah sebentar?
Hinggap di hatiku yang biru
Mengharu biru karena rindu
Di rumah, Toro mempunyai kucing peliaharaan
yang dia beri nama broni. Malam-malamnya dia lalui dengan broni, dianggapnya
sahabat Toro menceritakan tentang Marlina ke broni. Kucing itu dirawat sejak
baru lahir, ditemukan di jalan saat hampir tertabrak modil penggangut sayur
dari pasar. Seakan mengerti dengan apa yang dialami majikannya, broni terenyuh.
Sepulang sekolah, Toro tidak melihat broni. Dicarinya broni kesmua tepat tapi
tidak ada. Rupanya, broni mati terlindas truck sampah
dekat rumah. Kesendihan Toro semakin parah. Belum lama dia ditinggalkan
Marlena, sekarang broni pergi. Tidak ada lagi yang menemani malam-malam
sepinya.
***
*Puisi dikutip dari Buku Ayah oleh Andrea Hirata.